20-7-09 SEANDAINYA ANGGOTA DEWAN

From : http://www.pwipwk.blogspot.com
Senin, 20 Juli 2009

SEANDAINYA ANGGOTA DEWAN
TAK DIGAJI

Pada pemilihan umum legeslatif bulan April yang lalu banyak orang berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi Caleg, tidak melihat dari latar belakang, ada yang dari kalangan tukang becak, tukang parkir, tukang sayur, kaum pendidik, kaum intelek, para selebritis bahkan dari golongan ningrat sekalipun yang jumlahnya hampir mencapai dua juta orang dari seluruh Indonesia kalau saja tidak ada perundang-undangan yang mengaturnya mungkin akan lebih dari empat jutaan orang yang mendaftar jadi caleg.

Betulkah besarnya minat masyarakat menjadi caleg itu merupakan indikator kesadaran politik rakyat makin tinggi? Seharusnya memang begitu. Kehidupan politik dan proses demokrasi makin terbuka seyogianya disertai kesadaran politik rakyat yang juga semakin dewasa. Tampaknya proses demokrasi dan kesadaran politik rakyat di Indonesia belum benar-benar sejalan. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu harus dipacu, masih banyak anggota masyarakat yang mau masuk bilik suara, melaksanakan hak pilihnya melalui proses “pemaksaan”, sampai hari pelaksanaan pemilu legeslatif dan pemilu presiden jumlah “pemilih bimbang” masih sangat banyak.
Lalu apa yang mendorong orang begitu bersemangat menjadi caleg kalau bukan kesadaran politik? Tanpa menafikan caleg yang benar-benar berangkat dari kesadaran politik, banyak caleg yang punya “niat” lain. Kedudukan anggota dewan yang begitu bergengsi dan prestisius, menjadi daya tarik luar biasa. Orang mau mengorbankan apa saja demi kedudukan dan gengsi tersebut.

Selain kedudukan yang bergengsi sangat tinggi dan memiliki magnet besar tentulah fasilitas dan gaji, seorang anggota dewan mendapat gaji jauh diatas PNS atau bahkan direktur BUMN, berapa jumlah pendapatan anggota dewan sebenarnya? Tidak ada yang pasti yang muncul kepermukaan, sengaja tidak diumumkan karena takut rakyat terkejut, pokoknya fantastik. Semua pendapatan itu diterima secara utuh karena segala macam keperluan hidup sehari-hari, baik pada masa persidangan maupun masa reses, ada dananya. Kalau ada potongan, antara 10 – 40 persen, sebagai “balas budi” buat parpol yang mengusungnya.

Pangkat dan harta ternyata masih menjadi godaan paling besar bagi manusia sepanjang zaman, para caleg yang jumlahnya lebih dari satu juta orang itu, kebanyakan bercita-cita menjadi pejabat dengan gaji sangat besar. Sekali lagi tanpa menafikan caleg yang memang punya nawaetu berjuang untuk rakyat, coba saja kit abaca baliho atau poster beberapa caleg “50% gaji untuk rakyat” ada pula yang berjanji “Semua gaji legeslatif untuk rakyat dan organisasi” atau “Silakan ambil sebanyak gaji saya untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Isi poster itu menggambarkan, ia sebagai anggota dewan yakin akan mendapatkan gaji besar, kalau saja pendapatannya 50 juta, diberikan kepada konsituen 25 juta, ia masih bisa hidup tenang dengan gaji 25 juta tiap bulan. Secara logika, pejabat yang bergaji besar pasti tidak akan korupsi atau menerima pemberian orang.

Paradigm itulah yang sekarang berlaku. Seorang Dirut BUMN atau pejabat tinggi bank, gajinya harus besar agar ia tidak mau mengambil uang Negara. Ternyata filosofi itu tidak terlalu benar. Banyak sekali pejabat yang dijerat KPK karena jelas-jelas korupsi padahal ketika jadi pejabat ia mendapat gaji relatif besar. Berpuluh anggota dewan baik yang masih aktif maupun mantan harus menjalani hukuman lebih dari empat tahun penjara artinya gaji besar bukan jaminan seseorang akan tekun dan jujur.

Mungkin harus menjadi pertimbangan, pendapat segelintir orang yang menyatakan, sebaiknya anggota dewan itu tidak digaji. Terdengar seperti halilintar siang hari, usul itu bisa saja terlalu ekstrim, akan tetapi pendapat itu muncul justru berangkat dari pengamatan masa sekarang dan pengalaman masa lalu, menurut cerita orang tua sampai awal tahun 70-an, seorang anggota DPRD Kabupaten, samasekali tidak mendapat uang siding, fasilitas, apalagi gaji. Seorang anggota dewan yang tinggal dikawasan Majalaya, harus naik bus umum ketika akan bersidang di Alun-alun Bandung, ongkosnya jelas dari kantong sendiri, ketika itu para anggota dewan yang semuanya kaum idealis dan politisi tulen, tidak mau diberi apa-apa oleh eksekutif. Mereka merasa rikuh menerima sesuatu dari eksekutif yang notabene berada dalam pengawasan dan kontrolnya.
Apabila ada kemauan politik penghapusan gaji dan fasilitas anggota dewan, seperti masa lampau, kursi di legeslatif tidak akan menjadi ajang rebutan, kalaupun ada perebutan kursi, prose situ murni untuk kepentingan politik bukan kepentingan individu atau kepentingan material. Para politisi tulenlah yang akan bersaing, bukan para pencari nafkah, hanya orang-orang yang benar-benar punya niat berkorban, baik tenaga, pikiran maupun harta yang akan menjadi anggota dewan. Orang semacam itu tidak akan merasa canggung ketika melaksanakan control, mereka merasa tidak punya utang atau dihidupi pemerintah.

Ada pendapat lain, ide pencabutan gaji dan fasilitas anggota dewan itu merupakan ide yang mengada-ada bahkan absur. Para anggota dewan itu jangankan tidak digaji, dengan gaji besarpun mereka masih banyak yang korupsi. Bahkan selain gaji besar, masih ada komisi yang meminta uang kepada eksekutif atau lembaga, uang tersebut merupakan pelicin agar dewan membuat regulasi yang sesuai dengan rencana lembaga atau kementrian tersebut, alih fungsi lahan, perubahan status tanah, permen, perda, pemekaran daerah dan sebagainya, menjadi sumber pendapatan anggota dewan di luar gaji yang besar. Memang benar semua langkah dewan harus disertai fasilitas dan uang. Pembentukan Banmus yang tadinya untuk memudahkan penyelesaian sebuah regulasi, seolah-olah berubah menjadi lembaga pemerataan, dibentuklah berbagai banmus, panitia ad-hoc, tim verifikasi, lintas komisi dan sebagainya. Semuanya mendapat uang khusus dan fasilitas.

Secara empiris, ketika para anggota dewan tidak mendapatkan gaji dan fasilitas, penyelewengan baik korupsi maupun pemerasan relative tidak terjadi, para anggota dewan dapat menyelesaikan darma baktinya dengan selamat. Tidak ada seorang pun anggota dewan yang menyelesaikan karir politiknya dipenjara. Yang masuk penjara pasti orang yang berjuang mempertahankan paham politiknya yang memang berseberangan dengan pemerintah. Ketika mereka keluar penjara, pasti dielu-elukan para pendukungnya, mereka memiliki rasa bangga luar biasa, bukan rasa malu. Predikat yang mereka sandang ialah politisi idealis bukan koruptor.

Kalau saja usul ekstrim ini bisa dilaksanakan, antrean caleg tidak akan sepanjang musim pemilu sekarang. Orang akan berpikir dua kali ketika punya keinginan menjadi anggota dewan.****(Ki Gumilang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Powered By Blogger

Jumlah Pengunjung Blog PWI Purwakarta

Apakah yang diperlukan anda dalam penampilan blog ini ?

Pengikut

BERITA PURWAKARTA TERKINI

Lintas Berita 8